Tulisan ini didedikasikan untuk pembelajaran bersama dalam penanganan kasus kekerasan seksual dimanapun itu. Sehingga, tidak untuk menyinggung personal dalam kelompok pendamping sepihak saja ataupun pihak yang dianggap pernah “melindungi pelaku kekerasan seksual”.
Pada awal bulan Juni, tanpa janjian bertemu di kafe Basa-Basi Sorowajan. Saya justru bertemu seorang kawan penyair perempuan (MS) yang banyak bergiat di kegiatan literasi di Indonesia. Beliau pun mengelola toko buku di Jogja hingga mengampu beberapa mata kuliah sastra maupun Bahasa Indonesia di beberapa kampus. Dengan peran berlapis dalam dirinya yang dijalani sehari-hari dengan sepenuh hati itu, mengantarkannya bisa bertemu banyak orang dengan banyak tutur cerita hingga problema pribadi, sosial pun pendidikan. Keterbukaan dirinya menjadi pendengar cerita pun membuat saya mempercayai beliau untuk menceritakan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Andika Pratama (AP) atau yang biasa dikenal Dikablek, sebelum viral di sosial media.
Pertemuan kami kembali, saat itu, membahas kasus kekerasan seksual lainnya yang mencuat ketika event Jogja Art & Books Fest yang diadakan pada bulan Mei (2024) lalu. Kasus itu menyandung salah satu penulis yakni Syarif Maulana (SM) yang cukup populer sebagai penulis. Kala itu, saya bertanya pada MS sebagai pegiat buku di Jogja dan cara menanggapi kasus tersebut.
“Jadi mbak, bagaimana cara menangani kasus kekerasan seksual yang dilakukan SM setelah mencuat di Jogja bulan lalu? Bahkan tidak mengganggu keberlangsungan acara ya?”. Tanya saya dengan rasa penasaran, mengingat popularitas SM di kalangan pegiat literasi di Indonesia ini memang tak main-main.
“Jadi Jie, memang waktu itu SM ditahan oleh pihak penerbit yang pernah menerbitkan karyanya. Penahanan sederhana ala pertemanan ini tidak bermaksud melindungi pelaku. Justru yang dilakukan kawan-kawan itu mendesak SM untuk menyatakan sikap dan mengakui perbuatannya secara tertulis, kemudian di-posting di akun pribadinya (Melalui X.com/Twitter)”. Jawab MS dalam percakapan kami di awal bulan Juni. Saya pun menemukan poin pentingnya, bahwa mendesak pelaku untuk mengakui kesalahan secara terbuka dan siap menerima resiko adalah tindakan yang tepat untuk dilakukan oleh orang-orang disekitarnya. Biasa kita menyebutnya “teman pelaku” akan tetapi, kali ini adalah teman yang memiliki perspektif gender serta keberpihakan penuh atas pemulihan korban.
“Kemudian Mbak, aku kan pernah cerita tentang kasus kekerasan seksual yang dilakukan AP di Samarinda itu kan. Menurut Mbak MS gimana?” tanya saya sekali lagi untuk meyakinkan cara penanganan terdekat sejak dari pertemanan literasi ini.
“Ya seharusnya orang-orang terdekatnya mendesak pelaku mengakui kesalahannya.” Jawabnya lagi. Meski sampai saat ini, pernyataan dari pelaku AP tentang mengakui kesalahannya ke publik tidak dilakukan. Bahkan meminta maaf pun sepertinya tidak. Nah, inilah yang menjadi dasar bagi semua para pendamping baik dari tim independen hingga satgas PPKS serta perkawanan terdekat pelaku bahwasannya mendesak pelaku mengakui perilaku kejinya itu belum dilakukan. Adapun yang paling miris lagi, justru yang timbul adalah kesalahpahaman antar individu yang masing-masing tergabung dalam kelompok berbeda pun malah terjadi. Misalnya, pengakuan salah satu individu yang mengusir pelaku di tempat usaha dagangnya sebagai bentuk tegas dan trauma berteman dengan AP. Akan tetapi, semua pihak masih gagal mendesak pelaku untuk mengakui kesalahan di publik melalui media sosial misalnya, ini justru terus melahirkan kesalahpahaman antar individu.
Selain MS, adapun novelis perempuan seperti OM yang memiliki institut kelas menulis dan media yang memuat karya penulis di Indonesia pun merespon dengan menghapus karya AP bahkan juga SM di media yang dikelolanya bersama tim. Inilah tanda keberpihakan OM pada seluruh korban untuk bisa pulih serta sanksi tegas untuk AP. Beberapa netizen sampai bertanya pada akun medianya, “mengapa hal itu harus dilakukan? Bukankah karya dan pelaku itu harus terpisahkan?” tetapi tim dari OM justru terlihat tak ambil pusing mengingat kasus ini belum dinyatakan selesai (dalam acuan pemenuhan tuntutan korban) sehingga banyak hal yang lebih penting ketimbang menanggapi kicauan netizen yang lupa konteks persoalan.
Mengingat kasus AP ini telah menelan korban hingga 10 perempuan di sekitar Samarinda, itu pun yang tercatat komunitas pendamping seperti Savrinadeya Support Group (SSG). Sebab adapun korban lainnya yang tidak melaporkan karena semua laporan atas dasar persetujuan (consent) korban untuk didampingi dalam memenuhi tuntutan korban serta pemulihan korban. Selain SSG, kasus AP telah masuk pada laporan Satgas PPKS Unmul dengan jumlah 1 orang ini tidak bisa disepelekan, sebab ini permasalahan yang cukup berat. Termasuk, pihak Satgas PPKS Unmul pun masih kita pertanyakan perihal penanganan emergency respon untuk penanganan korban yang traumanya kambuhan di luar jam kerja kampus, waktu libur atau panjangnya birokrasi kampus yang melambatkan penanganan karena tiap tindakan anggota satgas wajib persetujuan ketua Satgas PPKS Unmul. Memang, sebagai pihak pendamping yang tentu harus mengeluarkan energi lebih di tengah kesibukan utama seperti kegiatan akademik, tetapi ada baiknya memang membenahi sistem penanganan kasus kedepan bisa lebih baik dari sebelumnya.
Hal yang perlu diingat, jumlah korban tentu mendasar pada kepercayaan korban dalam melakukan pengaduan pada pihak pendamping mana yang dipercayai. Termasuk regulasi di dalamnya, mengingat tidak hanya mahasiswa Unmul saja yang menjadi korban. Hal ini yang perlu ditekankan, bahwa jumlah korban tak menentukan penyelesaian yang sama. Baik dari kelompok pendamping independen maupun yang dibawah naungan kampus, tentu semua memiliki SOP dalam penanganan.
Perbedaan cara penanganan menghantarkan kasus AP sempat viral di beberapa media online seperti akun Kaltimtoday.co (dalam bentuk reels instagram) dengan jumlah sharing (repost instagram) ribuan kali. Kondisi viral ini didasarkan atas konferensi pers yang dilakukan masing-masing pendamping yang tentu dengan tata cara penangannya. Mengingat kembali tata cara penanganan yang tidak tunggal, perselisihan paham hingga perbedaan perspektif berujung saling kritik antar pendamping ini membuat para netizen yang mengetahui akan bertanya, “kemudian bagaimana penyelesaian kasus kekerasan seksual yang dilakukan AP ini?”. Meski aduan sipil telah dilakukan melalui dampingan LBH Samarinda ke aparat kepolisian, maka sebagai netizen yang ingin bersifat budiman ini masih mempercayakan penyelesaian itu pada semua pihak pendamping. Terbuka ataupun cukup tertutup jika atas dasar consent korban, tentu yang terpenting juga pemulihan korban secara psikis dan fisik terus dilakukan demi tak lagi menambah korban selanjutnya.
Perihal menambah korban kasus kekerasan seksual yang dilakukan AP ini bukan berarti tidak mungkin. Dalam hasil investigasi Konde.co pun membeberkan pada bulan April (2024) lalu bahwa pelaku masih melenggang bebas tanpa rasa bersalah sedikitpun. Hal ini menjadi penting untuk para pendamping serta teman-teman di sekitar AP bahwa kita semua gagal mendesak AP untuk mengakui perbuatannya di publik. Kita justru seolah saling salah paham atas dasar balutan perbedaan perspektif dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Sehingga, tidak hanya semua korban kekerasan seksual yang dilakukan AP saja yang dirugikan bekali lipat, tetapi semua pihak yang mendampingi dan berteman dengan AP pun kecipratan sial atas perbuatannya. Padahal, perlu sekali mendesak AP untuk mengakui kesalahannya di depan publik agar penanganan kasus ini baik di kondisi keseharian hingga meja sidang nanti bisa berjalan sebagaimana mestinya. Meski tetap menekankan keadilan bagi korban dengan memastikan keamanan korban, akan tetapi kritik penanganan menjadi penting untuk pembelajaran bersama.
Menurut info yang beredar dalam media massa, pihak kampus Unmul yang telah menskorsing AP selama 1 semester ini menjadi pertanyaan besar bagi kita. Dengan sekian banyak korban yang melakukan pengaduan, mengapa ganjarannya hanya skorsing 1 semester? Apakah pantas pelaku kekerasan seksual macam AP ini dihukum sebegitu ringan di tengah trauma berat yang dialami seluruh korban? Apakah pihak kampus tidak mengerti, jika dibiarkan AP kembali melanjutkan studi akademiknya justru mencoreng nama baik kampus? Hal ini perlu dijawab dari pihak kampus melalui lembaga sipilnya seperti Satgas PPKS Unmul dalam rilisan berita di Kaltimkece.id yang menyebutkan bahwa skorsing 1 semster bukanlah keputusan final. Meski begitu, hal ini jangan sampai terabaikan seolah para penyimak kasus ini amnesia dan terjebak dalam pendeknya ingatan. Sebaiknya pihak kampus pun mengupayakan dalam pemenuhan tuntutan korban dengan men-drop out AP, sebab ini akan jadi bagian sikap tegas kampus dan keberpihakan dengan pemulihan korban. Mengingat pola AP yang menggunakan kemampuan linguistiknya sebagai langkah awal untuk memanipulasi korban berjatuhan di bawah kuasa pengetahuannya. Tidak hanya AP, sesungguhnya masih banyak diluaran sana juga yang menggunakan kuasa pengetahuan yang berujung kekerasan seksual yang merugikan orang lain. Maka, penting bagi kampus negeri seperti Unmul memiliki sikap tegas. Sebab, jika Unmul bisa ya saya pikir ini menjadi contoh baik bagi kampus lainnya di seputaran Samarinda hingga Indonesia.
Selain itu, kondisi melenggang bebas ini tidakkah pihak kampus beserta dosen, staff hingga mahasiswa di dalamnya khawatir AP akan menjadi biang penyebar virus HIV-AIDS? Mengingat AP pernah mengatakan (menurut pengakuan korban melalui via telfon dan bersifat tertutup) bahwa bapak biologisnya justru telah wafat akibat virus tersebut, yang kemudian dikonfirmasi perilaku cabul dirinya yang seolah memiliki arti: berpotensi sama. Meski memang perihal dugaan atas penyebaran virus HIV-AIDS oleh pelaku perlu pengujian secara klinis agar terbukti, akan tetapi ini kekhawatiran ini kian membesar rasanya ketika mengetahui info tersebut di tengah masih melenggang bebasnya pelaku serta potensi penambahan korban lagi.
Pada dasarnya, mempertahankan AP hingga bisa lulus dari kampus Unmul tidaklah membuat nama kampus melambung tinggi dan dipuji-puji nanti. Sebab, yang ada justru kampus menjadi tempat yang rentan yang tidak dipercayai masyarakat. Sungguh, ini menjadi tanda bahaya bagi pihak kampus khususnya Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman hingga masyarakat sipil yang ada di Kalimantan Timur.
Referensi:
Profil singkat penulis:
Adjie Valeria Christiasih, penulis lepas berusia 26 tahun yang berasal dari Kalimantan Timur ini meminati isu lingkungan dan problem sosial. Saat ini sedang berproses di salah satu lembaga advokasi problema lingkungan dalam lingkup nasional yang ada di Jakarta.
