Era digital telah mengubah cara berpikir dan meningkatkan ketergantungan pada teknologi. Toleransi terancam dengan perdebatan online dan hilangnya empati. Kecerdasan buatan belum mampu mengimbangi kecerdasan emosional dan spiritual manusia. Kita perlu menjaga nilai-nilai tradisional dan keagamaan di era digital.
Seseorang yang bertindak benar tidak akan memvalidasinya dengan menyalahkan orang lain.
Pernahkah terlintas di benakmu, apakah roh memiliki etnis? Apakah jiwa terikat pada suku bangsa dan negara tertentu? Pertanyaan ini mungkin terdengar aneh, namun menjadi semakin relevan di tengah maraknya intoleransi dan perpecahan yang terjadi di dunia ‘nyata’. Jangan-jangan, hanya di dunia roh kita dapat bersatu!
Sejak medio 2019 hingga 2023, tercatat setidaknya 65 kasus intoleransi di Indonesia, seperti yang dilaporkan oleh KBR. Angka ini hanyalah sebagian kecil dari kejadian yang sebenarnya terjadi, dan belum termasuk berbagai perselisihan dan konflik yang terjadi di masyarakat baru-baru ini.
Di dunia maya, yang sering dianggap sebagai perwujudan “roh” di era digital, perdebatan dan perselisihan yang berujung pertengkaran pun masih marak terjadi. Identitas kita didefinisikan secara sempit oleh teknologi, melahirkan makna tunggal yang mengabaikan keragaman dan kompleksitas manusia.
Contohnya, beberapa hari lalu, dua tokoh agama ternama Indonesia terlibat dalam perdebatan sengit tentang hukum musik. Perdebatan ini menjadi semakin panas dan tidak sehat sebab kedua belah pihak, terutama pengikut atau masing-masing jamaah, saling klaim kebenaran dan menyerang satu sama lain.
Padahal, keduanya memiliki dalil dan argumen yang valid, dan berpotensi sama-sama mendekati kebenaran. Mengapa kita harus terjebak dalam binerisme “benar” dan “salah”, dan saling menyerang tanpa mencari titik temu?
Sebelumnya, media sosial juga diramaikan dengan isu gerakan Kristen Progresif yang menuai pro dan kontra. Sekali lagi, perdebatan ini berlangsung tanpa dialog yang konstruktif dan hanya berfokus pada serangan dan saling hujat.
Mengapa hal ini terjadi? Jawabannya sederhana: kita semua terjebak dalam ego dan klaim serta pemaknaan tunggal dengan pengetahuan yang masih tipis. Gus Dur pernah bilang, semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin besar rasa toleransinya.
Saya jadi ingat dengan apa yang dikatakan Leonardo da Vinci, he who truly knows has no occasion to shout. Orang yang benar-benar memahami kebenaran tidak akan teriak-teriak dan memaksakan pendapatnya.
Orang masih sibuk ingin menunjukkan kesalahan orang lain biasanya itu dalam rangka menegaskan kebenaran dirinya. Kalau ia masih butuh penegasan kebenaran dirinya, sebenarnya ia belum terlalu yakin dengan kebenarannya sendiri.
Gesekan antara berbagai pihak di media sosial tadi merupakan fenomena seperti gunung es yang menghadirkan tantangan dalam menjaga nilai-nilai tradisional dan keagamaan di era globalisasi dan kemajuan teknologi.
Menurut Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A., Guru Besar Antropologi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, mulai dari cara berpikir, tubuh, ruh, dan jiwa kita telah terpengaruh secara artifisial. Kita heboh sebab ada WhatsApp, bukan sebab dorongan alami manusia, dan bahkan sedih pun sebab informasi di media sosial.
“Ujung pangkal masalah ada di sini (di gawai),” kata Prof. Laksono dalam Diskusi Bulanan Institut DIAN/Interfidei bertajuk Gesekan antara Agama dan Kebudayaan, di Tengah Kuatnya Arus Budaya Teknologi Media Sosial pada Rabu, 8 Mei 2024 lalu.
“Seluruh irama hidup kita, daging dan otot kita, menjadi bagian dari jaringan kecerdasan buatan. Otaknya bukan di kepala kita, otaknya ada di mesin, entah di Amerika sana, entah di Tiongkok, entah di mana,” sambung Prof. Laksono.
Hilangnya Kemampuan Otak dan Memudarnya Kepekaan
Setiap proses pengambilan keputusan, bahkan hal sepele, kini tak lagi kita kuasai. Kita terikat pada kecerdasan buatan, bagaikan marionet yang dikendalikan oleh algoritma. Keputusan yang kita ambil bukan lagi berdasarkan nalar dan hati nurani, melainkan mengikuti arahan sang dalang, yaitu gawai dan gadget.
Teknologi AI kini telah menyusup ke setiap sendi kehidupan kita dengan begitu rumit. Ia telah menemukan jalannya ke berbagai aspek kehidupan modern, membentuk peradaban dan cara kita hidup, bahkan metode kita berkembang biak tak luput dari artificial intelligence.
Mengapa kita begitu bergantung? Sebab kecanggihan Jaringan Saraf Tiruan (neural networks) dan deep learning, seperti speech recognition, telah memanjakan kita. Dengan perintah sederhana kepada Google Assistant, Siri, Cortana, dan Alexa, tugas pun sekejap selesai.
Sebab itu, kita begitu tantrum saat hendak berangkat namun gawai tertinggal. Atau begitu frustrasi dan mati gayanya kita ketika listrik atau internet padam, walau hanya satu jam saja.
Tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari, dalam dunia religi pun kecerdasan buatan sudah mulai merasuk. Sekira Juni 2023 lalu, penerapan teknologi kecerdasan buatan dalam bidang religi saat ibadah di Gereja Protestan Bavaria, Jerman, yang dipimpin oleh teknologi ChatGPT. Hampir 98% prosesi ibadah tersebut didukung oleh kecerdasan buatan. Sebuah avatar digunakan untuk memimpin lebih dari 300 jemaat melalui doa, musik, khotbah, dan bahkan pemberkatan selama 40 menit.
Di penghujung diskusi, saya mendengar sayup-sayup protes dari salah satu peserta. Ia bergumam bahwa kita memang tidak bisa lepas dari teknologi, dan jika tidak mengikutinya, kita akan tertinggal.
Tidak salah, namun ia tidak menangkap apa yang dikritik oleh Prof. Laksono adalah bahwa kendali atas hidup kita sudah diambil alih oleh AI. Kita tidak lagi mengendalikan AI, melainkan AI yang mengendalikan kita. Termasuk media sosial yang menjadi referensi hidup, belajar agama di YouTube dengan pemahaman partial.
Masalahnya kecerdasan buatan, sebagaimana namanya, hanya memiliki IQ (Intelligence Quotient), belum memiliki EQ (Emotional Quotient) untuk mengukur kecerdasan emosional, apalagi SQ (Spiritual Quotient).
Handphone yang dibanting tidak akan merasakan pesakitan, marah-marah, berbeda dengan manusia. David GadgetIn pun tak dibalas apa-apa saat menulis reviu negatif tentang suatu produk gadget. Smartphone tidak merasakan sedih. Namun ketika seorang manusia direviu, dicari kesalahan dan kekurangannya, tentu manusia tersebut akan bereaksi.
Inilah yang terjadi sekarang. Jempol kita begitu mudah mengetikkan hujatan pada orang yang berbeda keyakinan dan pendapat. Yang mengendalikan jari dan mulut kita bukan lagi otak dan saraf, melainkan neural network (saraf tiruan) yang tidak memiliki empati itu. Sehingga kepekaan perlahan menguap dari alam bawah sadar kita.
Tidak Harus Menyeberang, Kita Bisa Berdiri di Antara
Saat menulis artikel ini, saya mendapat tanggapan dari seorang teman. Saya ajak dia mengikuti kegiatan “Jalan Tol” (Jalan-jalan Toleransi) yang diinisiasi oleh GUSDURian Jogja. Dia menjawab, “Belum siap aku kalau ikut-ikut itu.” Entah saya salah menafsirkan kalimatnya, tapi dalam konteks lain, saya pernah diprotes sebab berfoto di depan gereja dan dituduh kafir.
Prof. Laksono menjelaskan bahwa menyatu bukan berarti berubah, melainkan mengapresiasi, mengakui, dan menghargai perbedaan. Berdiri di depan gereja tidak berarti saya harus pindah agama Katolik. Sama sekali tidak!
“Kita tidak harus menyebrang, kita butuh berada di antara,” kata Prof. Laksono.
Untuk mencintai orang Hindu, saya tidak perlu mengikuti upacara Sudhi Wadani. Untuk mencintai orang Kristen, saya tidak perlu dibaptis terlebih dahulu. Bukan konversi, tapi interaksi yang menempatkan kita di antara kepercayaan yang berbeda.
Mungkin secara fisik kita tidak bisa bersatu, tapi secara spiritual, kita bisa bertemu.
Oleh Mahéng (Penggerak Komunitas GUSDURian Yogyakarta.)
