Melawan Rape Culture dan Budaya Reviktimisasi: Respons Sensitif Terhadap Kekerasan Seksual

Rape culture dan reviktimisasi di media sosial, melawan keraguan dan membangun empati untuk korban kekerasan seksual. Bagaimana kita menanggapi dengan sensitif?

Jangan sampai jantina bekerja lebih keras daripada kepala kita.

Media sosial saya digemparkan oleh berita mengejutkan. Orang-orang yang selama ini saya kagumi dan percayai, ternyata melakukan tindakan keji: kekerasan seksual

Salah satu di antaranya, bahkan calon idola saya, filsuf yang selalu menantang arus utama. Yang lainnya, fasilitator yang selama ini mendampingi dan bahkan gencar mengkampanyekan anti-kekerasan seksual. Rasanya seperti mimpi buruk! Bagaimana mungkin orang-orang yang saya puja dan jadikan panutan tega melakukan hal tercela seperti itu?

Di kolom komentar media sosial lembaga yang mengeluarkan rilis, penuh dengan pertanyaan yang sama sekali tak sensitif, mengarah ketidakpercayaan. “Bagaimana kronologinya?”, “Buktinya apa?”, “Kok bisa sih?”. Dan yang paling tidak masuk akal, ada yang bertanya “Siapa korbannya?”.

Fokus utama justru tertuju pada keraguan dan rasa ingin tahu yang tak berdasar, alih-alih rasa empati terhadap penderitaan penyintas hanya karena penjahat kelamin itu adalah ‘orang dekat’. Inilah bukti budaya rape culture masih mengakar kuat bahkan di kepala orang-orang yang selama ini mendapuk diri bersama korban. Penyintas kerap mengalami reviktimisasi, disudutkan, dan dipaksa untuk membuktikan rasa sakit mereka.

Tak hanya di media sosial, pertanyaan dan komentar tak sensitif juga mewabah di dunia nyata. Sering kali saya mendengar kalimat-kalimat seperti “Jangan-jangan suka sama suka”, “Konsep consent itu naif, membingungkan”, “Katanya, sebelumnya mereka pernah pacaran,” seolah menjadi pembenaran atas tindakan kekerasan seksual.

Melatih Kepekaan untuk Melawan Rape Culture dan Budaya Reviktimisasi

Membangun kepekaan adalah proses yang tidak mudah. Diperlukan usaha untuk melatih diri dalam ‘seni mendengar’ yang baik. Hal ini sering kali terabaikan, bahkan oleh anggota organisasi atau komunitas yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi penyintas kekerasan seksual itu sendiri.

Stephen R. Covey pernah bilang bahwa kebanyakan orang tidak mendengarkan dengan maksud untuk mengerti; mereka mendengarkan dengan maksud untuk menjawab. Pernyataan ini sangat relevan dalam menggambarkan realitas di mana banyak orang (pengguna media sosial) hanya ingin menanggapi tanpa benar-benar memahami situasi dan perasaan penyintas.

Pertanyaan seperti “Bagaimana kronologinya?” di kolom komentar media sosial mungkin terlihat biasa, atau bahkan naif. 

Namun saya skeptis bahwa penanya benar-benar ingin memahami peristiwa yang terjadi. Justru, saya khawatir pertanyaan itu digunakan untuk menyalahkan korban dengan kalimat seperti “Oh pantaslah, pakaiannya begitu,” atau “Wajarlah ceweknya terlalu supel dengan lelaki.”

Tak hanya itu, masih ada pihak-pihak yang menggunakan dalil agama untuk mendiskreditkan penyintas. Argumen seperti “Jangan fitnah, nanti dibalas di akhirat” atau “Kalau memang pelaku melakukan perbuatan sekeji itu, kenapa harus diumumkan di media sosial, mengapa tidak langsung dibawa ke Meja Hijau?” sering kali dilontarkan untuk membungkam penyintas dan melindungi pelaku.

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya menyakitkan, tetapi juga berbahaya sebab dapat menanamkan rasa bersalah dan ketakutan pada penyintas, serta memperkuat budaya victim blaming yang masih mengakar dalam masyarakat kita. Tak jarang, pertanyaan-pertanyaan ini dilontarkan oleh staf pelaku atau cecunguk-cecunguknya, memperparah trauma dan rasa sakit penyintas. 

Penyintas bukan hanya dirugikan secara fisik, tetapi juga secara mental dan emosional. Trauma mereka membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk pulih. Sehingga pengumuman di media sosial mungkin menjadi satu-satunya cara bagi mereka untuk mendapatkan keadilan, atau setidaknya bisa mencegah agar tidak ada korban baru.

Mengingat pelaku yang biasanya memiliki relasi kuasa dan status quo sudah lihai bermanuver mencari target baru untuk dijadikan korban.

Saya pribadi pernah merasakan betapa rumitnya menyelesaikan kasus kekerasan seksual, terutama ketika pelakunya adalah ‘orang dekat’ dan penyintasnya sendiri adalah ‘orang dekat’. Saat memimpin sebuah organisasi nasional sekitar tahun 2018-2020 lalu, saya harus menghadapi kenyataan pahit di mana dua hingga empat pimpinan wilayah melakukan kekerasan seksual.

Tak hanya penyintas yang diintimidasi, saya pun dituduh ingin menyingkirkan para pelaku. Tuduhan ini dilontarkan sebab nama pelaku saat itu sedang beken dan sedang gencar berkampanye untuk menggantikan posisi saya di saat masa jabatan saya sudah habis.

Awalnya, dan mungkin hingga sekarang, banyak orang tidak percaya bahwa pelaku yang dianggap “kiri progresif” itu memiliki watak cabul. Bukan hanya mereka yang tidak percaya, saya sendiri pun awalnya skeptis. Kami melakukan investigasi yang panjang dan mendetail, meski diwarnai banyak penyangkalan. 

Kami mendengarkan cerita para penyintas, membawa mereka ke psikolog, dan mencocokkan data dengan tindakan pelaku. Memang sulit untuk diterima, namun itulah kenyataannya.

Sehingga saya bisa paham, menjadi Satgas yang membongkar kasus kekerasan seksual memang melelahkan. Ditekan oleh publik, oleh pelaku dan antek-anteknya, disaat yang sama harus mendampingi penyintas yang tidak mudah. Diperlukan mental, energi, dan kepiawaian luar biasa, hingga finansial. 

Investigasi kasus ini jauh lebih pelik daripada sekadar menjawab pertanyaan naif tak peka para pengguna media sosial. Pengusutan kasus bisa memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun beserta dramanya yang berkembang biak.

Semua Bisa Jadi Pelaku, Siapa Pun Berpotensi Jadi Korban

Kekerasan seksual tidak mengenal batas. Setiap orang, terlepas dari gender, usia, atau latar belakangnya, berpotensi menjadi pelaku atau penyintas, termasuk diri saya sendiri. Kejahatan ini bisa mengintai di mana saja, baik di ranah publik maupun privat, bahkan di lingkungan keluarga sendiri. 

Baik oleh orang asing maupun orang yang kita kenal, bahkan orang yang kita puja dan tidur satu bantal pun bisa menjadi pelaku.

Seringkali kita menganggap bahwa “mengetahui” sama dengan “sudah melakukan”. Kenyataannya, ada jurang yang lebar antara “tahu” dan “tindakan”. Seseorang bisa saja pandai berceramah, menghabiskan malam di warung kopi sambil berdiskusi tentang banalitas kekerasan seksual, bahkan menjadi fasilitator pendamping korban, namun dalam kehidupan pribadinya justru melakukan hal yang sebaliknya.

Meskipun statistik menunjukkan bahwa perempuan, anak perempuan, dan anak laki-laki lebih rentan menjadi korban, laki-laki pun tak luput dari jerat kekerasan seksual. Data SIMFONI-PPA Kemenpppa tahun 2024 menunjukkan bahwa dari 7.259 kasus kekerasan seksual, 1.538 korbannya adalah laki-laki (19,5%).

Bedanya, jika kasus tersebut menimpa perempuan. Perempuan akan rentan dengan kekerasan ganda, disalahkan sebab “tidak bisa menjaga diri”, “mengumbar aurat”, atau “berpakaian menggoda”, “mengundang duluan”, “kenapa tak melawan”, “pasti menikmati kan”, dan sejenisnya. Mental model ini juga masih melekat pada sebagian besar laki-laki dan perempuan sendiri, termasuk mereka yang ada dalam lembaga yang menabalkan diri anti-kekerasan seksual.

Di Yogyakarta, dalam kurun waktu yang sama, terjadi 380 kasus kekerasan seksual, dengan 235 korban perempuan. Angka-angka ini hanyalah sebagian kecil dari kasus kekerasan seksual yang terjadi. Banyak korban yang tidak berani melapor karena takut stigma, trauma, dan proses hukum yang rumit atau dihujat di media sosial.

Ruang Aman: Bukan Pola Tempat, Tapi Pola Pikir

Ruang aman bukan sekadar tempat fisik seperti kantor atau aula, tapi lebih dari itu. Ruang aman sejati terletak dalam otak dan pola pikir kita.

Meskipun lembaga, payung hukum, perlindungan, dan upaya untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan dan korban kekerasan di Indonesia sudah ada, masih banyak kekurangan. Perlindungan dan upaya mencari keadilan bagi korban masih berbelit-belit, sehingga seringkali berujung pada penyepelekan kasus atau bahkan reviktimisasi bagi penyintas.

Bayangkan diri kita berada di posisi korban kekerasan seksual! Coba renungkan pertanyaan-pertanyaan atau komentar yang sering kita dengar di media sosial atau kehidupan nyata yang menghujam diri kita!

Saat dihadapkan dengan cerita penyintas, keraguan tentang kebenarannya memang bisa muncul. Tapi, hal terpenting yang harus dilakukan adalah memberikan dukungan terlebih dahulu. Penyintas yang sudah berani speak up telah berjuang melawan pengalaman traumatis mereka.

Lantas bagaimana jika ternyata “penyintas” tersebut bohong, Mahéng?

Tidak masalah sebab setidaknya kita sudah berempati terhadap cerita penyintas kekerasan seksual. Selain itu, berdasarkan pengalaman saya, hampir tidak ditemukan penyintas berbohong, sebab proses investigasi oleh tim satgas bukanlah sehari dua hari, bisa berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.

Terakhir, edukasi dan pemahaman tentang kekerasan seksual menjadi kunci utama dalam memerangi budaya reviktimisasi dan rape culture. Kita tidak perlu selalu tahu siapa penyintasnya, yang lebih penting memahami berbagai jenis kekerasan seksual, termasuk konsep consent. Jika sudah begitu, kita dapat bersama-sama membangun tembok kokoh untuk melawannya.

Oleh Mahéng | Penggerak Komunitas GUSDURian Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *